Insight
Bata dan Sunnatullah
Sebetulnya kurang tujuh tahun lagi, usia pabrik sepatu Bata yang berdiri di Indonesia genap 100 tahun. Tapi, untung tak dapat diraih. Pabrik yang memproduksi merek sepatu yang cukup legendaris itu akhirnya ditutup, terhitung sejak 30 April 2024, setelah selama empat tahun terakhir mengalami penurunan permintaan yang sangat signifikan.
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2023, PT Sepatu Bata yang memproduksi sepatu merek Bata ini tercatat mengalami rugi bersih sebesar Rp 190,28 miliar. Kerugian ini meningkat hampir 80 persen dibandingkan periode yang sama 2022 yang saat itu mencapai Rp 105,91 miliar. Karena itu lah, diputuskan untuk menghentikan operasional pabrik yang berada di Purwakarta, Jawa Barat itu pada 30 April 2024. Berarti, jika merujuk pada situs resmi perusahaan tersebut yang menyebutkan bahwa Bata sudah menjual sepatu di Indonesia sejak 1931, maka usia Bata di Indonesia mencapai 93 tahun.
Saya termasuk generasi yang punya kenangan dengan merek sepatu Bata. Saat usia SD dulu, bapak saya selalu mengajak saya ke outletnya Bata, setiap kali membeli sepatu atau sandal. Waktu itu, mulai dari bapak saya, ibu saya, saya, kakak saya hingga adik saya, jika membeli sepatu atau sandal, mereknya: Bata. Masyarakat Indonesia, wabil khusus dari generasi baby boomer dan generasi X, pasti mengenal sangat baik sepatu merek Bata itu. Sebab, masa-masa kejayaan Bata terjadi di tahun 70-an hingga 80 an.
Lantas, apa yang membuat Bata terpuruk dan akhirnya tumbang? Secara garis besar dapat dijawab: karena Bata tidak mampu beradaptasi dengan baik dalam merespon perubahan yang terjadi. Lebih khusus lagi, mereka mengalami “penuaan brand”.
Merek Bata sangat familiar dengan generasi baby boomer dan generasi X. Seiring berjalannya waktu, generasi baby boomer dan generasi X memasuki masa pensiun dan menua. Sehingga daya beli mereka berkurang. Saat ini, yang menguasai pasar adalah generasi milenial dan generasi Z. Ironisnya, Bata tidak mampu melakukan regenerasi konsumen secara massif yang produknya menjangkau generasi milenial dan generasi Z. Inilah yang kemudian menyebabkan penjualan Bata terus menurun. Faktor lainnya, Bata tidak cepat dalam merespon gelombang disrupsi digital. Strategi marketing Bata lebih banyak mengandalkan gerai atau toko fisik, ketimbang menggunakan platform digital. Mereka memang punya akun di media sosial, mulai dari Instagram hingga TikTok. Tapi, sebatas yang saya amati, konten-konten mereka jauh dari kaidah yang ada dalam “digital marketing”, sehingga terkesan kurang greget dan kurang agresif. Kurang mengandung “call to action”.
Di saat yang bersamaan, bermunculan lah merek-merek sepatu produk lokal asli, dimana mereka begitu agresifnya memanfaatkan teknologi digital untuk memasarkan produk-produknya. Misalnya, merek sepatu “Nah Project”. Merek sepatu ini semakin tenar setelah beredarnya foto Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengenakan sepatu ini saat menemui Elon Musk pada tahun 2022. “Nah Project” berdiri pada 2016. Produk ini menawarkan aneka sepatu sneakers berkualitas dengan berbagai warna. Ada juga aneka sandal serta pakaian dan aksesori yang berdesain casual dan sporty. Tak hanya itu, selain bahan bermutu dan memberikan kenyamanan, “Nah Project” menekankan transparansi harga serta jasa memperbaiki sepatu agar lebih awet. Harga yang ditawarkan antara Rp 350.000 – Rp 600.000. Relatif murah dan terjangkau.
Merek lainnya adalah “Wakai”. Koleksi utama dari sepatu ini terdiri dari sneakers dengan bahan pola rajut berpori serta sepatu langsung pakai (slip-on). Koleksi sepatunya cocok untuk pria dan wanita, dengan aneka warna yang bisa dipakai disesuaikan dengan kepribadian si pemakai. Desain sepatu “Wakai” terinspirasi dari mode Jepang, terutama slip-on yang mirip selop atau sepatu ala Ninja. Harganya relatif murah dan terjangkau: antara Rp 250 ribu – Rp 700 ribu. Masih ada produk-produk lokal lainnya yang secara harga, mereka bersaing langsung dengan segmennya Bata. Di antaranya “Compass”, “Brodo”, “Aerostreet” dan lain-lainnya.
Jadi, belajar dari kasus Bata, setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil. Pertama, secara sunnatullah, brand atau merek itu memang ada umurnya. Ini yang disebut dengan “brand longevity”, yakni keberadaan atau eksistensi sebuah merek yang berkesinambungan di pasar. Para pemilik brand, pasti menginginkan “brand longevity”-nya berumur panjang. Nah, pelajaran kedua, berumur panjang atau tidaknya sebuah brand, sangat tergantung pada kemampuan dari brand tersebut dalam merespon perubahan yang terjadi. Apakah itu perubahan perilaku konsumen, atau pun perubahan pasar. Terkait dengan kemampuan brand dalam merespon perubahan ini, ada dua kata kunci yang sangat penting: “cepat” dan “tepat”. Merespon perubahan harus dilakukan dengan “cepat”, jangan sampai kalah cepat dengan kompetitor. Selanjutnya, formulasikan hasil dari merespon perubahan tadi secara “tepat” pada produk Anda. Bagaimana menurut Anda?
(kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)