Setiap kali akan memesan makanan melalui aplikasi GoFood, begitu sudah memilih menu yang diinginkan, kebanyakan di antara kita pasti akan lebih dahulu melihat rating-nya. Selanjutnya membaca komentar-komentarnya. Setelah kita yakin dengan rating dan berbagai komentarnya, baru lah diklik untuk memilih menu yang akan dipesan.
Perilaku seperti ini juga diterapkan saat akan memilih hotel di daerah yang akan dituju. Dilihat rating-nya terlebih dahulu, kemudian membaca berbagai komentar-komentarnya. Baru kemudian dipilih.
Anda pecinta sinetron di televisi? Panjang-pendeknya durasi episode dari sebuah judul sinetron, sangat tergantung dari seberapa tinggi rating (Nielsen) dari sinetron tersebut. Para pemasang iklan juga akan melihat rating dari sinetron sebelum memutuskan untuk pasang iklan di sinetron itu. Semakin stabil angka rating sebuah judul sinetron di kisaran yang tinggi, maka akan semakin banyak iklan yang dipasang di sinetron itu. Otomatis, durasi episode sinetron pun akan dibikin panjang. Bisa sampai ratusan bahkan hingga ribuan episode. Sinetron “Tersanjung”, bisa bertahan hingga tujuh tahun.
Hidup kita, disadari atau tidak, sebagian besar telah “diperkosa” oleh rating, hotlist, atau peringkat. Banyak keputusan yang kita buat, semuanya didasari oleh peringkat. Merek apa yang sedang hot, kafe mana yang lagi ngetop alias viral, atau mobil apa yang sedang ngetrend?
Peringkat atau rating, adalah salah satu senjata utama yang sangat berpengaruh dalam pertarungan marketing saat ini. Kita sering, tanpa sadar, menjadikan rating atau peringkat atau hotlist sebagai pertimbangan untuk memilih produk. Istri saya seringkali terpengaruh dengan narasi penjual ketika dia memberikan pertimbangan terkait hotlist barang apa yang harus dipilih. “Produk ini yang lagi best seller…produk ini yang belakangan banyak dibeli,” kurang lebih seperti ini narasi si penjual. Apalagi disampaikan oleh si penjual dengan sangat percaya diri.
Rating, hotlist, atau peringkat, memang peluang bisnis yang sangat bagus. Majalah-majalah terkenal dunia selalu membuatnya. Majalah “Fortune”, misalnya, punya peringkat 500 perusahaan terbaik (dalam edisi khusus Fortune 500), dan dijadikan referensi penting. Majalah “Time” punya acara tahunan “Man of The Year”. Sedangkan “Business Week” memiliki “Annual Design Award”. Kebanyakan rating itu memang cukup berpengaruh dalam membujuk konsumen untuk membeli sebuah produk tertentu.
Karena itu, selama 10 tahun lebih saya bertugas di Malang memimpin sebuah perusahaan media, kami membuat semacam awarding setiap tahun. Di dalamnya, kami berikan penghargaan dimana tersirat rating di dalamnya. Kini, ketika bertugas di Kediri, hal yang sama juga saya lakukan.
Peringkat-peringkat itu, telah menjadi komoditas informasi yang begitu digandrungi konsumen, sehingga banyak perusahaan khusus bergerak di bidang itu. Misalnya, “Moody’s Investors Service Inc”, yang memberikan peringkat pada saham-saham di bursa efek, sehingga konsumen bisa memilih mana yang bagus peluangnya. Ada juga “Standard & Poor’s” yang membuat indeks risiko terhadap berbagai subyek investasi.
Wal hasil, rating, peringkat dan hotlist itu semuanya dibikin berangkat dari semangat untuk mencari yang terbaik. Dalam ekonomi pasar yang bebas, itu menjadi indikator penting. Konsumen bergantung padanya, untuk menentukan pilihan. Kita tidak bisa menghindar dari “permainan” ini. Suka atau tidak, inilah realitanya. Dalam semangat bersaing yang bebas, mau tidak mau, kita wajib mempertahankan prestasi kita, dan harus bisa unjuk gigi. Pertahankan kualitas brand kita dengan selalu melakukan perbaikan, agar penilaian dari masyarakat selalu positif. Ketika penilaian masyarakat terhadap brand kita selalu positif, maka rating atau peringkat kita juga akan terjaga selalu baik. Bagaimana menurut Anda?
(kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)